Kamis, 14 September 2017

Wajah Perekonomian Indonesia (Pola Pikir Masyarakat yang Berpengaruh Pada Kesejahteraan)

Indonesia,
dengan 17.000 lebih pulau didalamnya dan ratusan juta penduduk yang mendiami setiap pulaunya. Tentu akan membuat banyak orang di dunia ini menganggap Indonesia sebagai bangsa yang besar. Tapi apakah kita benar-benar besar dalam pandangan mereka? Atau bahkan secara data kuantitatif negara kita ini besar, tapi bagaimana dengan data kualitatifnya?
Bahkan saya sendiri sebagai salah satu warga negara Indonesia, merasa bahwa negeri ini kecil, sempit, sesak, penuh, dan semua kata yang mempunyai arti "kecil".
Kenapa?
Sebesar apapun sebuah negara, tidak ada artinya jika semuanya masih bergantung pada negara lainnya yang bahkan secara fisik lebih kecil dari Indonesia. Jujur, dalam lubuk hati saya ada rasa malu. Bagaimana bisa negara sebesar dan sekaya ini masih merasa kecil.
Salah atu cerminan yang saya gunakan adalah bidang perekonomian. Saya merasa tertampar ketika saya berfikir bahwa daerah asal saya adalah daerah yang kurang maju atau bahkan masih dikatakan sebagai daerah yang masih belum berkembang perekonomiannya, karena komoditas utama dari daerah saya adalah pertanian dan gerak ekonomi diperkotaannya masih disekitar pasar saja. Tapi semua itu terbantahkan, dulu saya berfikir bahwa daerah kota besar (seperti kota tempat saya menuntut ilmu saat ini) pastinya perekonomian lebih maju karena banyaknya fasilitas penunjang ekonomi yang beragam, tetapi ternyata saya salah. Justru julukan "kota besar" tidak menjamin perekonomiannya maju dan masyarakatnya sejahtera, hal ini-pun baru saya ketahui saat saya sering mengikuti kegiatan sosial ke perkampungan warga di tengah kota. Dan saya pun baru ngeh dengan distribusi masyarakat menurut area dalam pelajaran geografi saat sekolah menengah dulu, ternyata benar juga bahwa pemukiman ditengah kota adalah pemukiman kumuh. Justru ditengah gemerlapnya sebuah kota tersimpan orang-orang yang mengais tiap keping harapan yang dijanjikan oleh kota itu, orang-orang yang tinggal seadanya.
Selama saya mengikuti kegiatan sosial tersebut, saya melakukan riset kecil-kecilan mengenai apa saja yang saya lihat dan hasil yang saya dapatkan dari riset sederhana ini cukup mengejutkan. Mereka yang hidup dibawah garis kesejahteraan memiliki berbagai alasan mengapa mereka tetap bertahan dengan status yang sama dan keadaan yang sama pula, bukan karena kurangnya lapangan pekerjaan bahkan kurangnya lapangan pekerjaan menjadi alasan ke nomor sekian. Alasannya adalah pemikiran mereka yang kurang terbuka, menganggap pendidikan hanya untuk formalitas karena yang terpenting adalah hidup tenang tanpa banyak beban pikiran. Sehingga banyak diantara masyarakat miskin tersebut memiliki pemikiran instan, ingin sejahtera tapi malas berusaha lebih. Padahal pendidikan adalah salah satu gerbang kemajuan ekonomi sebuah negara, seperti yang kita tahu slah satu faktor produksi adalah skill atau keahlian dimana keahlian bisa didapatkan melalui pendidikan. Jikan faktor absolut dari suatu faktor produksi adalah labor atau pekerja, maka apalah artinya jika sebagian besar dari pekerja tidak memiliki keahlian khusus padahal kunci utama untuk mengasilkan barang ataupun jasa adalah keahlian dalam menciptakan output (barang dan jasa).
Maka solusi dari permasalahan diatas adalah bukan dengan membagikan dana secara cuma-cuma yang berujung percuma karena masyarakat miskin pun akan menggunakan dana tersebut untuk kebutuhan konsumsi tanpa mengolahnya. Yang perlu dilakukan adalah dengan merubah pola pikir mereka untuk lebih peduli dengan pendidikan dan keahlian atas diri mereka, karena potensi sumber daya manusia dalah modal yang tak kalah besarnya dengan modal yang bersifat material.

widget pengunjung